Selasa, 16 Oktober 2007

Harian Jawa Pos, 11 Oktober 2007

Industri Konten dan Masa Depan 3G di Indonesia

Agar Tak Layu Sebelum Berkembang

Triliunan rupiah sudah dikeluarkan operator selular guna memperoleh lisensi dan mengembangkan kapasitas teknologi selular generasi ketiga (3G). Namun, “demam” layanan 3G tak kunjung datang. Akankah 3G mati prematur?

Pada 14 September lalu, genap dua tahun komersialisasi layanan 3G di Indonesia. Namun, aplikasi 3G seperti videocall, video streaming, atau mobile TV, yang dulu diyakini bakal menjadi killer aplication, belum mampu membuat masyarakat berpaling dari pesan layanan singkat atau fungsi teleponi generasi dua lainnya.
Padahal, untuk mengurus lisensi 3G saja, pada operator pemegang lisensi 3G harus menguras investasi ratusan miliar. Telkomsel misalnya menawar Rp 218 miliar, XL Rp 188 miliar, dan Indosat Rp 160 miliar untuk 5 Mhz frekuensi 3G. Totalnya, guna membereskan urusan frekuensi, tak kurang dari Rp 500 miliar digelontorkan setiap operator.
Investasi ratusan miliar itu belum termasuk pembangunan infrastruktur. Konon, Telkomsel harus kembali menguras Rp 3 triliun selama tiga tahun guna memperluas jaringan Node B (base transceiver station 3G). Indosat dan XL kabarnya juga merogok kocek Rp 900 miliar dan Rp 2,5 triliun guna membangun infrastruktur layanan berbasis mobile broadband internet ini.
Meski operator telah jor-joran, tampaknya minat masyarakat untuk menikmati layanan 3G belum sebanding. Hingga Juli lalu, baru sekitar 4,5 juta nomor pelanggan yang menggunakan layanan 3G. Telkomsel mengklaim jumlah pelanggan terbesar dengan 3,25 juta nomor, disusul XL dengan 252 ribu nomor, dan Indosat yang mengklaim 100 ribu nomor.
Jumlah pelanggan 3G ini tentu jauh dari menggembirakan, karena total penetrasi pengguna layanan selular di Indonesia berkisar 60 juta orang.
Penetrasi pelanggan 3G yang minim berimplikasi pada melesetnya target
pendapatan atau average revenue per user (ARPU) yangdipatok operator dan vendor selular. Operator dan vendor tampaknya harus menunggu lebih lama lagi hanya untuk sekadar balik modal.
Apa penyebab penetrasi dan ARPU layanan 3G jauh panggang dari api? Pakar telematika Roy Suryo menuding harga handset 3G masih cukup mahal bagi masyarakat. Akibatnya, baru sekitar sembilan ersen pengguna selular yang memegang handset 3G.
Selain itu, ujar Roy, masyarakat menilai biaya pulsa untuk mengakses layanan 3G masih terlalu mahal. “Ada pula faktor adaptasi teknologi. Kalau menonton bola secara gratis di TV sudah nyaman, mengapa harus membayar mahal untuk menonton bola di layar ponsel?” ujar Roy.
Minimnya perolehan pendapatan dari layanan 3G diduga juga terkait dengan masih tingginya kepuasan pengguna selular pada layanan 2G atau 2,5G. Sebagian masyarakat tampaknya masih menggemari layanan browsing web dan WAP, layanan messaging (SMS/MMS/push mail), layanan hiburan (game dan ringtone), serta layanan mobilecommerce (mobile banking dan mobile ticketing).
Masih tingginya minat masyarakat pada layanan 2G atau 2,5 G juga terkait belum banyak dimanfaatkannya kelebihan utama 3G, yakni pita jaringan yang lebar. Seperti kita tahu, bila dimaksimalkan, jaringan 3G mampu menyalurkan data dengan kecepatan 384 Kbps hingga 1,6 Mbps.
Bahkan, bila digunakan perangkat high speed downlink paket access (HSDPA), kecepatan pengiriman data bisa mencapai 7,2 Mbps atau hampir 15 kali lipat jaringan 3G standar.
Pada beberapa negara yang sukses menerapkan 3G, pita lebar itu benar-benar dimanfaatkan untuk memaksimalkan 3G killer aplication dalam ponsel, internet, serta multimedia. Di Jepang dan Korea Selatan, dua negara yang paling sukses mengaplikasikan 3G, pemilik ponsel 3G bisa melihat wajah lawan bicara dengan fasilitas video call atau video conference, menonton siaran bola, film, atau konser musik melalui layanan video streaming yang mulus tanpa putus-putus.
Bahkan di Jepang, ponsel 3G pun bisa digunakan sebagai alat transaksi pembayaran pengganti kartu kredit. Cukup mengirimkan pesan ke sebuah basket khusus atau menempelkan ponsel ke sebuah sensor, transaksi pembayaran pun lunas.
Industri konten lokal Jepang juga membanjiri pelanggan dengan game-game interaktif yang populer, seperti Kuju Crash atau games sensor gerak bekerjasama dengan vendor-vensor handset seperti Mitsubishi dan Sony.
Selain faktor konsumen, kurang populernya layanan 3G juga disebabkan operator dan vendor selular kurang memahami kebutuhan pengguna selular di Indonesia. Sekjen Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia(ATSI) Rudiantara menilai, operator 3G di Indonesia lebih banyak berinvestasi untuk memperluas teledensitas (jaringan dan coverage). Hanya sedikit operator yang fokus mengembangkan konten-konten guna memaksimalkan kelebihan layanan 3G.
“Konten harus menjadi layanan utama operator selular, bukan sekadar menawarkan paket data. Selain itu, dibandingkan teledensitas, operator sebaiknya mengutamakan kualitas jaringan,” tegasnya.
Rudiantara menilai, operator selular saat ini masih memprioritaskan konten game dibandingkan konten hiburan. Dia menilai operator latah dengan Jepang dan Korea yang sukses mendulang pelanggan karena membanjiri pasaran dengan ribuan game-game online terbaik. Padahal, kata Rudi, selera pelanggan di Indonesia belum tentu sesuai dengan selera pelanggan 3G di Jepang.
Rudi menilai masyarakat Indonesia lebih membutuhkan konten hiburan dibanding games. Karena itu, Rudi menyarankan operator 3G di Indonesia memaksimalkan layanan download klip musik, film, atau ringtone/truetone.
Komentar Rudi dibenarkan praktisi selular Lendy Widayana. Menurut dia, di masa edukasi layanan 3G seperti di Indonesia, pemasaran 3G masih ditopang prinsip buy the fashion, not the function. Untuk itu, operator harus dapat meningkatkan variasi layanan mobile TV seperti kuliner, gaya hidup, fashion, berita hard news, dokumenter/softnews, informasi finansial/bursa, olahraga, edukasi, komunitas, pengamatan/surveillance, dan sebagainya.
Pendapat Lendy dan Rudi juga didukung penelitian Siemens tentang tren komunitas selular di Indonesia. Menurut study Siemens, layanan data mobile di Indonesia lebih banyak digunakan untuk mengakses hiburan (30 persen), mengakses berita dan informasi (28 persen), mobile commerce (12 persen). Sementara, penggunaan layanan 3G untuk mengakses games
interaktif hanya 2 persen.
General Manager 3G Business Development Mobile Networks PT Siemens Indonesia Gufron Mahmud menyebutkan, tren layanan konten 3G nantinya akan menuju ke arah sharing video, surveilance, dan location base. Untuk location base, Gufron mencontohkan pengguna 3G di daerah tertentu akan dapat menerima broadcast video advertising, yaitu layanan iklan dalam bentuk video pada handset.
''Tak hanya itu saja, konten ringback tone yang sangat popular saat ini bisa terus dikembangkan. Pada layanan 3G nantinya, ringback tone bisa berupa video. Jadi nada tunggu diganti dengan video klip, tak sekedar suara lagu saja,'' paparnya.
Selain itu, download animasi atau gambar dapat dengan mudah dilakukan pada teknologi GSM generasi ketiga. Seperti ketika melakukan call back video (berbicara ditelepon dengan video yang menyisipkan gambar-gambar untuk latar belakang).
Operator pemegang lisensi 3G juga telah mulai memaksimalkan konten. XL misalnya, telah bekerjasamadengan 33 content provider, 7 music label, 5 stasiunTV lokal, dan 5 stasiun TV internasional. Sementara, Telkomsel menggandeng 20 konten provider untuk mengembangkan layanan tv channel, hiburan, religius,dan anak-anak.
Untuk mengembangkan konten, operator tidak perlu terus-menerus melirik produk content developer asingyang mahal. Saat ini sudah ada 200 technopreneur konten lokal yang produktif. Bila masing-masingmemproduksi lima konten, akan ada seribu konten lokal yang ditawarkan ke konsumen selular.
Pengembangan konten lokal ini juga sesuai kebijakanpemerintah. Menurut Direktur Sistim Informasi,Perangkat Lunak dan Konten Depkominf Loly Amaria Abdullah, Peraturan Menteri Kominfo No.1/2006 mensyaratkan operator memberikan porsi 30 persen pada produk lokal, termasuk konten. (Ibnu Yunianto)

Masa Depan 3G Bukan di Ponsel

Pita jaringan 3G yang lebar memungkinkan akses internet yang lebih cepat. Apalagi, bila menggunakan modem eksternal HSDPA (High-Speed Downlink Packet Access) dan EDGE (Enhanced Data rates for Global Evolution) yang memungkinkan pengaliran data tingkat tinggi pada jaringan bergerak.
Peluang ini ditangkap operator untuk mendorongpenerapan 3G, bukan hanya di telepon selular, tapi juga personal computer dan komputer jinjing. Ceruk bisnis ini sangat lebar, karena di Indonesia, pemanfaatan 3G untuk internet baru sekitar 20 ribuan.
Sementara, menurut Sylvia W. Sumarlin, Ketua Umum Asosiasi Penyeleggara Jasa Internet Indonesia (APJII), pengguna internet di Indonesia tahun ini berkisar 25 jutaan, termasuk sekitar 6 juta pengguna internet yang menggunakan broadband.
Paling tidak ada tiga alasan mengapa 3G bakal go computer.
Pertama alasan mobilitas, kedua kecepatan internet sekelas broadband mulai 358 Kbps hingga 1,6Mbps, dan ketiga gampang instalasi dan prosedur langganannya.
Potensi 3G untuk menjajah pasar internet akses tinggi ini tampaknya mulai diseriusi XL Bussiness Solutionsdengan mengembangkan fixed dan mobile convergence berbasis 3G HSDPA untuk pasar korporat dan internet ritel. (Ibnu Yunianto)

Tidak ada komentar: